Me inspirasion

Me inspirasion

Kamis, 22 April 2010

Atasi Macet dengan Rumah Susun

Beberapa tahun terakhir, Semarang didera kemacetan lalu lintas yang menjengkelkan. Jalan-jalan kota yang dulu relatif lancar kini padat kendaraan. Terutama pagi dan sore, arus lalu lintas di sejumlah ruas jalan sering macet. Pertumbuhan kendaraan bermotor sangat pesat dan tecermin di berbagai ruas jalan raya.

Seolah tanpa solusi, kemacetan makin tak terkendali. Jalan-jalan yang sebelumnya digunakan sebagai alternatif karena bebas hambatan belakangan ikut padat. Kondisi ini tentu menjadi momok sebagian besar warga kota. Pengguna jalan setiap hari selalu mengeluhkan persoalan sama saat berada di jalan. Yang lebih memprihatinkan, pihak-pihak yang mempunyai kewajiban mengurai masalah tersebut seolah kedodoran dalam mencari solusi.

Mengurai kondisi kemacetan jalan memang tidak mudah. Meskipun tiap pagi polisi harus melakukan buka tutup ruas jalan untuk mengurai kemacetan, tetap saja kemacetan terjadi dan masih cukup signifikan saja. Dengan kondisi yang sudah seperti ini, sudah seharusnya pemerintah turun tangan mencari solusi.

Berjubelnya kendaraan di pintu-pintu masuk kota, seperti dari arah Ungaran, dari arah Demak, Mranggen, maupun Kendal dan di Genuk, setiap harinya menimbulkan pemandangan yang menyebalkan. Selain sesaknya jalan akibat membeludaknya kendaraan, polusi yang ditimbulkan memperparah Semarang.

Pemberlakuan transportasi massal bus rapid transport (BRT) masih sangat diragukan efektifitasnya untuk mengatasi lalu lintas di Kota Semarang. Siapa pun tidak yakin bahwa pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke BRT ketika moda transportasi ini beroperasi. Padahal, jika pengguna kendaraan pribadi tidak banyak beralih menggunakan BRT, kemacetan di sepanjang jalan akan semakin buruk.

Sebenarnya tinggal menunggu waktu saja Semarang akan di-Jakarta-kan. Maksudnya, nasib lalu lintas di Semarang akan mirip, bahkan melampaui, kemacetan di Jakarta. Dengan kondisi seperti itu, tingkat polusi udara dipastikan juga semakin meningkat karena meningkatnya pembakaran bahan bakar. Sejatinya, itu kurang menguntungkan bagi kesehatan kota secara makro. Kerawanan lingkungan hidup juga meningkat. Alternatif

Ada alternatif, misalnya pembatasan umur kendaraan dan pembatasan kendaraan masuk kota. Meskipun demikian, hal itu dipastikan menimbulkan kontroversi luar biasa sebab yang berkepentingan dalam pusaran itu terlalu banyak, baik individu, swasta, maupun pemerintahan. Atau perlu diupayakan budaya tanding yang melihat aspek baik dari sepeda dan jalan kaki. Semuanya bergantung pada kemauan pemerintah, dan warga, agar bijak dalam menciptakan kota teratur tanpa kemacetan.

Pernahkah kita menyadari bahwa kemacetan lalu lintas yang terjadi di kota-kota besar Indonesia telah menyebabkan 20 persen dari bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan oleh kendaraan roda empat terbuang percuma? BBM tersebut terbuang percuma saat kendaraan diam di tempat akibat jalanan macet. Pemborosan pemakaian BBM di tengah kemacetan ini bukanlah hal baru. Menurut catatan Strategic Urban Road Infrastructure, sejak 1997, kemacetan sudah sangat serius dan harus segera mendapatkan penanganan. Saat itu, jumlah pemborosan yang dihitung akibat kemacetan lalu lintas telah mencapai Rp 10 triliun per tahun.

Laporan itu juga menjelaskan bahwa kecepatan rata-rata mobil di kota-kota besar hanya 15 sampai 21 km per jam. Hampir sama dengan kecepatan rata-rata di kota Manila (16 km per jam), Meksiko City (31,5 km per jam) dan Los Angeles (34,5 km per jam ). Kemacetan sebetulnya telah menyebabkan kerugian sosial bagi masyarakat berupa pemborosan waktu dan biaya opersional kendaraan. Produktivitas ekonomi dan kualitas hidup warga kota juga turun akibat struktur jalanan yang semakin semrawut dan tingginya angka polutan udara. Rumah susun

Untuk mengurai kemacetan, perlu kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi massal yang harus didukung bahkan disinergikan dengan kebijakan perumahan yang mampu mendorong pembangunan perumahan vertikal (rumah susun) di pusat kota. Kemacetan yang tidak terkendali ini akibat perencanaan kota yang tidak diimplementasikan dengan baik sehingga investasi tambahan infrastruktur transportasi pun adalah sebuah keharusan.

Tanpa perumahan murah berbentuk susun atau apartemen murah di tengah kota, warga selamanya jadi pelaju yang tinggal di tepian kota dan bekerja di dalam kota. Tiap hari pula, jalan-jalan menuju dan dari pusat kota dipadati kendaraan sehingga terjadi kemacetan berjam-jam. Rumah susun dibuat sebagai solusi mengatasi kepadatan suatu kawasan di samping menyediakan tempat tinggal layak dan murah bagi warga miskin dan keberadaannya dekat dengan tempat kerja.

Di pusat kota, kita selalu mengeluh kekurangan lahan untuk membangun rusun, padahal banyak lahan telantar. Di Inggris atau Belanda, bila ada lahan telantar lebih dari lima tahun, pemerintah mengambil alih. Selain itu pentingnya lembaga bank tanah yang menyediakan lahan untuk pembangunan rusun.

Kehadiran rusun di Semarang sepertinya belum banyak dilirik para pengembang. Padahal, rusun dapat dijadikan pemecah rumitnya transportasi kota di tengah makin terbatasnya lahan dan ruang untuk membangun rumah di tengah kota. Rusun di tengah kota tentu dapat menjadi alternatif hunian dan prioritas program dalam mengurai kemacetan.

Untuk program pembangunan rusun di kota ini, pemerintah bisa menggandeng swasta (investor). Pembangunan rusun idealnya tidak jauh dari kota apalagi di pinggir kota yang sulit terjangkau prasarana dan sarana transportasi umum. Hal ini agar rakyat tetap dapat tinggal dekat dengan tempat bekerja di pusat kota.

Jika mereka dapat bekerja hanya dengan berjalan kaki saja akan menekan pengeluaran biaya transportasi. Pembangunan rusun ini harus ditujukan untuk memberikan tempat hunian yang cukup layak dan kemudahan agar tidak jauh dari lokasi tempat bekerja dan menghindari kemacetan di jalanan.

Sementara itu, dalam pengamatan penulis, rusun yang kini dibangun pun sebenarnya tidak terkoneksikan dengan jaringan BRT. Rusunawa Kaligawe, misalnya, terletak dipinggir kota yang hanya diperuntukkan bagi pekerja di daerah Semarang timur.

Kondisi ini mempertegas belum terlihat sinergi antara infrastruktur transportasi massal dan kebijakan pemerintah membangun rusun. Tanpa kebijakan tegas dari pemerintah kota seperti manajemen tanah, perumahan di pusat kota dengan harga terjangkau hanyalah mimpi. Mimpi itu bahkan bisa hadir saat kemacetan di jalan menjadi-jadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar